Friday, February 16, 2007

Dasar Cina Lho !

Dasar Cina Lho ! Bagi banyak orang Tionghoa ucapan tersebut dinilai sebagai
suatu penghinaan, walaupun tidak bisa dipungkiri, bahwa RRC itu adalah
singkatannya dari Repubulik Rakyat China, tetapi cobalah tanyakan bagaimana
perasaannya saudara kita yang berkulit hitam apabila mereka disebut “Niger”,
walaupun di Afrika juga sebenarnya ada negara yang bernama Niger. Mereka
lebih senang dipanggil dengan sebutan “black men” atau orang hitam, walaupun
sebenarnya arti harafiahnya dari kata Niger itu adalah “hitam” dalam bahasa
Latin, atau Negro dalam bahasa Spanyol. Jadi hitam atau Black dalam bahasa
Inggris; bagi yang berkulit hitam tidak bisa dinilai sama dengan hitam dalam
bahasa Latin = Niger, yang satu merupakan ungkapan hormat sedangkan yang
lain penghinaan.

Begitu juga dengan tulisan China dan Cina. Mungkin hal yang serupa dirasakan
oleh kebanyakan orang Tionghoa, walaupun bedanya hanya dari huruf “H” nya,
bahkan kalau di ucapkan kedengarannya juga sami mawon alias sama azah “ C I
N A”!

Apalagi ketika istilah kata Cina ini dipakai untuk memaki dan diembel-embeli
perkataan seperti “Cina Loleng”, “Cina Mindring” dan sebutan-sebutan
degeneratif lainnya, oleh sebab itulah istilah kata Tionghoa lebih disukai
ketimbang kata Cina. Dan anehnya pula ada sebutan “Cina Medan”, tetapi tidak
pernah ada sebutan “Arab Medan”.

Dan yang lebih lucunya lagi; banyak sekali orang merasa jengah untuk
menggunakan kata “Cina” secara resmi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Cobalah perhatikan dengan seksama yang dimaksud dengan “Warga Keturunan” itu
selalu orang Tionghoa, walaupun demikian tidak pernah ditulis entah di media
cetak maupun media elektronik “Warga Keturunan Cina”, begitu juga yang
dimaksud dengan perkataan “non pribumi” selalu mengacu kepada orang
Tionghoa, tidak pernah mengacu kepada keturunan etnis lainnya entah Arab,
India ataupun orang-orang Eropa.

Apakah Anda tahu bahwa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) itu keturunan Tionghoa,
secara terbuka ia pernah menyatakan bahwa ia masih keturunan dari Tan Kim
Han (Sumber Wikipedia). Disamping itu apakah Anda tahu nama asli Tionghoanya
dari Rudy Hartono ?

Mengapa apabila ada seorang olahragawan yang berhasil membawa nama bangsa
menjadi harum tidak pernah tuh dicantumkan bahwa ia itu “non pribumi”
apalagi nama Tionghoa nya, tetapi kebalikannya begitu ada Cina Maling,
langsung dicantumkan komplit bahwa ia itu “non pri” lengkap dengan
embel-embel nama Tionghoanya.

Begitu juga satu hal yang mustahil, apabila segelintir orang-orang Tionghoa
dimana pun juga mereka berada ingin merubah perkataan China jadi Tiongkok,
renungkanlah apakah mungkin kita bisa memaksakan seluruh bangsa di dunia
ini; mulai besok merubah nama RRC menjadi Republik Rakyat Tiongkok.

Mungkin hanya segelintir orang Jepang saja yang membenci orang China akan
merasa senang apabila istilah Tiongkok dipakai, sebab konon kata ini pertama
kali digunakan oleh bangsa Jepang, terutama oleh kaum militerismenya yang
berambisi ingin mencaplok Tiongkok; sebab lafal ini sama dengan lafal kata
Jepang yang berkonotasi "modyar” sehingga lafal kata “Tiongkok” sebenarnya
merupakan suatu hinaan yang berarti “Mampuslah lho!" untuk mengumpat dan
menghina rakyat Tiongkok.

Istilah kata Cina sebagai hinaan ditekankan ketika Seminar Angkatan Darat di
Bandung pada 1968 memutuskan dan menganjurkan kepada pemerintah agar kata
Cina dipakai sebagai istilah baku untuk mengacu kepada negeri Cina dan orang
Tionghoa. Alasannya, menurut usul yang ditelurkan oleh seminar tersebut,
adalah untuk menjamin bahwa pribumi tidak merasa rendah diri.

Memang ada kesan bahwa penggunaan istlilah Cina seperti yang diusulkan dalam
seminar tersebut dan kemudian dianut oleh pemerintah Orde Baru sebenarnya
dimaksudkan sebagai alat untuk menghukum golongan etnis Tionghoa. Keputusan
ini merupakan kelanjutan dari larangan terhadap orang-orang Tionghoa untuk
mempertunjukkan perayaan agama dan tradisinya di depan umum (Inpres No. 14
tahun 1967). Tetapi ketika reformasi bergulir, sejak th 2000 larangan ini
dicabut oleh Gus Dur.

Pada saat tersebut perkataan Tionghoa itu benar-benar haram, sehingga antara
lain harian Indonesia Raya maupun harian Merdeka dibredel, karena berani
menggunakan istilah Tionghoa, bukannya Cina seperti yang telah dibakukan di
Bandung. Rupanya mereka lupa bahwa karangan lagu "Indonesia Raya" dari WR
Supratman pertama kali di publikasikan di Harian Sin Po dan rekamannya
dilakukan di toko musik Tio Pe Kong di Pasar Baru, Jakarta.

Kata Cina itu sendiri berasal dari nama Ahala Qin (baca Ch'in), dinasti
pertama yang mempersatukan seluruh daratan Tiongkok, di bawah pemerintahan
kaisarnya Qin Shihuang ( 225 s.M sampai 210 s.M), disamping itu kaiser Qin
tersebut yang memerintahkan penyeragaman Huruf Kanji sehingga komunikasi
tertulis dapat berjalan lancar. Tetapi dilain pihak ia adalah seorang Kaiser
yang kejam dan biadab yang telah memerintahkan pembakaran semua buku-buku
ajaran Kong Hu Cu dan memerintahkan hukuman dikubur hidup-hidup terhadap 500
sarjana Konfusianis. Akibat dari tindakan brutal Kaisar Qin itu, sebagian
dari karya-karya Kong Hu Cu yang disakralkan sebagai kitab suci untuk aliran
itu, sampai sekarang belum diketemukan lagi.

Hal inilah yang menyebakan banyak orang Tionghoa lebih senang menamakan
dirinya dengan kata “Tangren”, yang kurang lebih berarti keturunan Ahala
Tang (618 – 907), salah satu dinasti yang meninggalkan zaman keemasan,
terutama dalam kesenian dan kesusastraan, dalam sejarah Cina. Di kalangan
etnis China di Indonesia, terutama yang berasal dari Propinsi Fujian
(Hokkian), sebutan itu menjadi “Tenglang”.

Lafal "Tiongkok" dan "Tionghoa" ini berasal dari dialek Hokkian yang berasal
dari kata Zhonghua yang digunakan sebagai sinonim dari Zhongguo (Tiongkok
atau Kerajaan Tengah) dan Presiden pertama Cina, Dr. Sun Yat-sen kemudian
menggunakan itu untuk nama negara baru di Tiongkok ; Zhonghua Minguo
(Republik Cina). Mao Zedong meneruskan penggunaannya ketika membentuk
Republik Rakyat China (RRC) : Zhonghua Renmin Gongheguo.

Kata “Mandarin” diserap dari bahasa Portugis = “mandarim” yang berasal dari
bahasa Sansekerta “mantrin” yang berarti pejabat tinggi bahkan kata menteri
dalam bahasa Indonesia pun sebenarnya diserap dari kata yang sama.

Kata Mandarin ini kemudian dipopulerkan oleh bangsa Barat yang sebenarnya
berarti: "pejabat tinggi dalam pemerintahan Manzu di bawah kekuasaan dinasti
Qing" (1644 - 1911) dan yang dimaksud dengan bahasa Mandarin adalah bahasa
yang dipakai oleh para pejabat tinggi atau golongan intelek pada saat
tersebut. Maklum di Tiongkok banyak sekali bahasa daerah.

Sehingga dengan mana sebenarnya tidak pernah ada di dunia ini bangsa
Mandarin ataupun negara Mandarin, jadi ungkapan kata bahasa Mandarin itu
sebenarnya tidak tepat !

Di Tiongkok mereka menyebut bahasa Mandarin itu adalah bahasa “Putonghoa” =
bahasa umum. Di Taiwan disebut bahasa “Guoyu”, sedangkan orang-orang
Tionghoa diluar Tiongkok sering menyebut dengan nama Huayu atau Hanyu atau
bahasa yang dipergunakan secara luas oleh suku bangsa Han yang mencapai 94%
lebih dari jumlah penduduk Tiongkok.

Wang U Chup
By Race I am Chinese and By Grace I am Christian
Email: mang.ucup@gmail. com
Homepage: www.mangucup. net

1 comment:

Dexter said...

hemmmm sangat membuatku nyaman mengetahui sesuatu yang yang belum pernah tahu... Gus Dur ternyata keturunan china yah..