Wednesday, October 11, 2006

Mesin Kematian Bernama Bunuh Diri

Beban ekonomi pasangan Jasih (30 tahun) dan Mahfud (32 tahun) makin berat. Mahfud yang hanya bekerja sebagai kuli serabutan tak cukup kuat menopang kehidupan keluarga yang tinggal di Desa Putat, Sedong, Kabupaten Cirebon, itu. Jasih yang sedang hamil seolah tak punya jalan keluar dari beban hidupnya. Pada 17 Desember 2004, Jasih beserta kedua anaknya, Galang (7 tahun) dan Galuh (4,5 tahun), nekad membakar diri.

Jasih hanyalah satu dari sekian banyak manusia yang memilih mengakhiri hidupnya lewat bunuh diri. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat, setiap tahun 873 ribu orang di dunia memutuskan mengakhiri persoalan hidup di dunia lewat bunuh diri. Jepang dan negara-negara di Eropa Timur tergolong negara yang paling tinggi angka bunuh dirinya di dunia. Di Jepang, lebih dari 30 ribu orang setiap tahun mengakhiri hidup lewat bunuh diri.

Dalam 45 tahun terakhir, angka bunuh diri di seluruh dunia naik per tahun rata-rata 60 persen. Sebagian besar pelakunya adalah anak muda. Melihat angka-angka tersebut, jelaslah bahwa bunuh diri jauh lebih mematikan dibanding perang, serangan teroris, atau kejahatan kriminal. Cuma, hingga kini kampanye antiperang dan antiteroris jauh lebih keras terdengar gemanya dibanding kampanye melawan bunuh diri.

Persoalan mental menjadi penyebab utamanya. Di Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober setiap tahun, WHO pun merilis data terakhir soal fenomena bunuh diri di dunia. ''Lebih dari 90 persen kasus bunuh diri terkait dengan sakit mental seperti depresi, schizophrenia, dan sebagainya,'' ujar Dr Benedetto Saraceno, direktur kesehatan mental WHO dalam siaran pers yang dirilis situs WHO, kemarin.

Yang jadi persoalan saat ini adalah seiring dengan melonjaknya angka bunuh diri, jumlah orang yang menderita gangguan mental di dunia juga cukup mencengangkan. Saat ini, WHO mencatat di dunia terdapat sedikitnya 450 juta jiwa menderita gangguan mental. Kebanyakan mereka belum mendapatkan penanganan yang memadai. Di 14 negara, 76-85 persen penderita gangguan mental serius tidak mendapatkan treatment.

Saat ini, pestisida menjadi senjata utama yang digunakan para pelaku bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya. Setiap tahun, menurut data WHO, sekitar tiga juta orang di dunia menenggak pestisida. Dari angka itu, 250 ribu orang di antaranya meninggal. Karena itu, WHO pun menghendaki agar peredaran dan penggunaan pestisida bisa diawasi.

Dalam kondisi yang mengerikan ini, ada saja kalangan yang justru mengambil keuntungan. Mereka bukanya berusaha ikut mencegah kemungkinan terjadinya bunuh diri, tapi malah mempermudah cara bunuh diri. Mereka membuka situs di internet yang isinya berupa petunjuk bagi mereka yang hendak mengakhiri hidup dengan bunuh diri.

Sejumlah situs di internet menyediakan petunjuk lengkap menuju kematian lewat bunuh diri. Situs-situs tersebut bahkan terkesan seperti mengampanyekan agar bunuh diri dipilih sebagai jalan pintas untuk mengakhiri segala persoalan. Dalam situs tersebut juga dipromosikan lagu-lagu serta film yang memberi gambaran soal bunuh diri.

Glenn Hughes (39 tahun) seorang warga Inggris adalah salah satu korban kekejaman situs-situs seperti itu. Dia mengalami depresi setelah hubungan yang telah dijalin selama 15 tahun dengan mitranya putus. Dia kemudian mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri menggunakan plastik yang ditutupkan ke seluruh kepalanya. Dia mati kehabisan napas.

Keluarganya sangat yakin, Glenn mendapatkan petunjuk soal bunuh diri dari situs di internet. Mereka yakin Glenn akan tetap hidup jika tidak mengakses situs-situs soal bunuh diri. Tyrone Hughes, saudara korban mengakui bahwa korban telah membuka situs-situs bunuh diri serta mengobservasi video yang mendemonstrasikan metode yang cepat untuk bunuh diri. ''Saya yakin, tanpa melihat situs seperti itu, dia tak akan pernah berhasil untuk memenuhi keinginannya mengakhiri hidup,'' ujar Tyrone.

Untuk menghindari kejadian serupa, keluarga inipun meminta agar situs-situs yang memberi petunjuk pelaksanaan bunuh diri segera ditutup. Namun, permintaan tersebut hampir mustahil untuk dipenuhi. Terbukti, hingga kini situs-situs seperti itu masih bertebaran di dunia maya.

Gambaran soal bunuh diri di dunia secara keseluruhan ini, kurang lebih juga mewakili persoalan bunuh diri di Indonesia. Seperti dilaporkan Antara, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan, G Pandu Setiawan, mengatakan, gangguan jiwa merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya bunuh diri.

Menurut dia, risiko bunuh diri pada orang yang mengalami gangguan jiwa 10 kali lebih besar dibandingkan orang-orang yang tidak mengalami gangguan jiwa. Ia menjelaskan bahwa gejala-gejala gangguan kejiwaan sebenarnya dapat dikenali sejak dini. Keluarga dan orang-orang yang berada di sekitarnya memegang peran yang sangat penting untuk mengantisipasinya. Mereka yang terindikasi mengalami gangguan jiwa, tidak boleh dibiarkan sendirian.

(irf ) Republika online

No comments: