Friday, November 25, 2005

Hanya Mereka yang Tahu

Pagi-pagi baca ini bagus juga.....

Kamadhatu


Jakarta. KCM

Kirim Teman | Print Artikel




Yakinkah anda telah mengenal orang-orang di sekitar anda? Mengenal dalam-dalam hingga isi hati mereka?

Gunjang-ganjing kasus bom Bali II pada 1 Oktober lalu serta tewasnya teroris Dr Azahari di Batu, 9 November lalu menyisakan banyak kisah tragis. Yang terutama tentunya nasib para korban. Seperti kepada 202 korban Bom Bali pada 12 November 2002 yang telah dibangunkan sebuah monumen, sudah selayaknya kita tidak melupakan para korban bom Oktober tersebut. Meski hanya selintas masuk dalam berita-berita media massa, nama-nama seperti Ratih Jayanthi, Megawati Hernia, Gusti Ketut Sudana, Tengku Dafansyah dan yang lainnya seharusnya tidak segera terlupakan.

Masihkah kita ingat mereka sebagai ibu muda dari anak yang masih kecil, mahasiswi yang tengah merajut masa depan, pekerja di R.Aja’s, hingga anak usia 6 tahun yang tengah dibentuk oleh orang tuanya untuk menjadi pribadi yang mereka inginkan?

Nyatanya tindakan para pelaku peledakan bom Bali II juga mengimbas kepada keluarga mereka sendiri. Para keluarga merasa duka dan tekanan batin yang sangat berat. Bukan hanya kesedihan karena kehilangan, rasa takut, malu dan terutama perasaan dibohongi karena tidak penah mengetahui apa yang berlangsung di belakang mereka.

Keluarga Aip Hidayat, seorang pelaku peledakan, misalnya. Orang tuanya hanya tahu anaknya menyelesaikan pendidikan di madrasah aliyah di Pondok pesantren Assalam, Cikijing, Majalengka. Ia samasekali tidak tahu aktivitas anaknya. Ketika kemudian diberi tahu anaknya merupakan salah seorang pelaku peledakan bom Bali bersama teman almamaternya, Salik Firdaus, ibu Aip, Rokhayah tidak bisa menerima. Mengapa Aip yang santun bisa berbeda saat di luar rumah?

Dalam keterbatasan, Rokhayah hanya mengikuti mainstream media massa yang menyebut Aip terpengaruh dan kemudian direkrut kelompok teroris. "Kelompok teroris telah menghasut anak saya hingga mati sia-sia," katanya dalam Media Indonesia, Kamis (24/11).

Sikap serupa diambil keluarga Misno alias Wisnu, 23, pelaku bom bunuh diri di kafe Menega, Jimbaran. Meski merasa kematian Wisnu alias Misno merupakan sebuah pukulan yang sangat berat, keluarganya mencoba tidak melihat ke belakang dan ke depan. "Saya samasekali tidak tahu, Jika tahu tentu sebagai orang tua saya tidak akan memperbolehkan Misno ikut dalam jaringan teroris," kata Mad Sukarto, ayah Misno.

Sama seperti Rokhayah, keluarga Misno merasa "lebih tenteram" dengan mengikuti mainstream yang mengatakan para pelaku adalah orang-orang yang direkrut oleh kelompok Dr Azahari untuk mengikuti rencana besar melakukan peledakan di tempat-tempat sasaran yang mereka pilih. Mungkin ini lebih mudah daripada memikirkan mengapa pada Aip dan Misno bisa timbul kesadaran seperti yang kemudian mereka yakini tersebut?

*****

Ketika peristiwa tewasnya Dr Azahari pada Rabu (9/11) terjadi, saya baru saja meninggalkan kompleks percandian Borobudur, Mendut dan Pawon setelah mengenalkan tiga situs sejarah tersebut kepada anak saya.

Di Borobudur anak saya mendapat pelajaran mengenai tiga lapisan dunia: Kamadhatu (alam bawah), Rupadhatu (alam antara) serta Arupadhatu (alam atas). Pemandu wisata yang mengantar anak-anak menyebut Kamadhatu adalah alam di mana keinginan masih meraja yang kemudian secara perlahan dilepaskan untuk mencapai tingkatan tertinggi (Arupadhatu).

Anak saya, 8, kemudian melihat pengejawantahannya pada pendeta-pendeta Buddha yang menuntut ilmu di Vihara Mendut. Ia terkagum-kagum melihat pendeta muda yang mengenakan kain yang dilibatkan sperti yang biasa ia lihat di film-film silat tampak begitu sederhana, bersih dan santun.

Namun dengan penuh rasa ingin tahu ia bertanya apakah benar para rahib muda tersebut sudah tidak ingin nonton film, sudah tidak ingin makan enak atau pun sudah tidak ingin tamasya seperti yang tengah ia lakukan.

"Seharusnya iya. Tapi hanya mereka yang tahu," jawab saya sekenanya.
"Mengapa hanya mereka yang tahu?"

Tidak menjawab, saya kemudian meminta anak saya mengajukan sebuah pertanyaan tentang dirinya yang kira-kira tidak bisa saya jawab. Setelah berpikir keras, ia bertanya,"Hadiah apa yang ingin saya berikan kepada Bapak bila ulang tahun?"

Hah? kalau pertanyannya dibalik mungkin saya akan lebih mudah menjawabnya. Kemungkinan ia ingin play station, robot, mobil-mobilan dll.

"Ah, aku tidak tahu"
"Ya sudah. Memang hanya aku yang tahu..."
(Tjahjo Sasongko)

No comments: