Kompas 2 Juli 2006
ASAL USUL
Lho, lha wong wah kok wow to?
Suka Hardjana
Benarkah bahasa itu cermin tata pikir dan perilaku? Orang-orang pintar bilang, bahasa menunjukkan tingkat budaya dan peradaban suatu masyarakat dalam kesatuannya yang lebih padat. Konon, makin tinggi kebudayaan dan peradaban suatu bangsa, makin canggih dan mumpuni (artinya lengkap, luas, kuat dan siap pakai untuk segala hal) suatu bahasa. Sebaliknya, semakin kurang maju budaya dan peradaban suatu masyarakat, kurang canggih dan kurang ’siap pakai’ pula bahasa masyarakat yang kurang maju itu. Secara khas—pada tingkat individu yang lebih personal—cara berbahasa menunjukkan tinggi rendahnya tingkat kecerdasan dan pendidikan seseorang. Bahasa bukan hanya alat komunikasi gaul, tetapi—yaitu tadi—cermin tata pikir dan perilaku manusia dalam segala keluasan dan kedalaman (kompleksitas) hakikatnya. Maka bahasa lantas dihubung-hubungkan dengan tingkat kecerdasan, pendidikan, kebudayaan-bahkan tingkat peradaban manusia dalam kesatuan kelompoknya. Karena bukan termasuk orang pintar dan tidak ahli dalam soal-soal kerumitan bahasa (dalam konteks sosiologi, antropologi, psikologi dan ilmu komunikasi simbol dan tanda-tanda ) seperti di atas dipesankan–saya sungguh tidak bisa menjelaskan mengapa bahasa dihubungkan dengan tingkat ’gengsi’ kemajuan seseorang atau masyarakat tertentu menyangkut tingkat kecerdasan, pendidikan dalam segala tetek-bengek implikasi (kandungan yang bersangkut-paut dalam hal) budaya dan peradaban segala. Mengukur tingkat kecerdasan, pendidikan dan peradaban barangkali tidak terlalu sulit, karena parameternya ada dan jelas cara berfungsinya. Tapi mengukur tingkat budaya seseorang atau kelompok masyarakat dalam konteks bahasa? Saya tidak tahu. Yang secara naif dan asal-asalan sedikit saya catat hanyalah gejala-gejala cara berbahasa yang sekilas sering dapat kita amati melalui wacana gaul dan komunikasi sehari-hari antarsesama. Bahasa bingung orang bingung yang bikin bingung. Berikut contoh-contoh kecilnya.
Harian ini pernah memuat sebuah artikel dengan judul begini: "Pendidikan Religiositas, Terobosan Obyektivikasi Faham Inklusivisme" (Kompas, Jumat 5 Oktober 2001). Lantas di edisi yang sama ada juga judul beginian: Perlukah "National Discipline Watch"? Kompas , Sabtu 6 Oktober 2001 memuat judul tulisan begini: "Koalisi Ornop Bentuk Tim Eksaminasi". Judul berita ini rupanya berlanjut seminggu kemudian, Sabtu 13 Oktober 2001: "Tim Eksaminasi Publik Koalisi Ornop Mulai Bekerja". Waduh! Di mana bahasa Indonesia-nya ya? Hingga hari ini, saya perlukan waktu lima tahun untuk memahami kebingungan konstruksi bahasa seperti itu. Bias perilaku dan tata pikir?
Bahasa memang sering diselewengkan demi tujuan gengsi dan pembentukan wacana semu oleh pemakainya. Bahasa asing sering menjadi alat bergengsi untuk tujuan itu. Dulu, orang Romawi sering menggunakan bahasa Yunani demi gengsi, orang Perancis menggunakan bahasa Latin dan orang Jerman menggunakan bahasa Itali dengan tujuan yang sama. Istilah dan bahasa asing sebagai rias bahasa simbol status dipercaya bisa mengatrol gengsi. "Pengkhianatan" bahasa dianggap lumrah demi simbol status, walau harus mengorbankan bahasa sendiri yang sebenarnya tak kalah apik. Lihatlah akomodasi istilah-istilah ortu atau sesama dalam bahasa Indonesia yang sebenarnya cukup apik dan pas untuk diri sendiri seperti, kakek-nenek, ayah, bapak-ibu, paman-bibi, bung, saudara, kakak-abang, adik dan seterusnya. Oleh kebiasaan banyak orang sebutan istilah-istilah keluarga dan pertemanan itu sering sengaja dilupakan dan diganti dengan istilah-istilah yang dianggap lebih keren seperti, opa-oma (Itali), eyang (Jawa), papa-papi-papap (Itali, Belanda) dedy (Inggris Amerika), romo (Jawa) mami-mama-muti (Belanda, Itali, Jerman), oom-tante (Belanda-Jerman). Tak jarang kita dengar istilah-istilah, kawin-nikah, cerai, upah, gaji, tak-bukan, terima kasih, aman, diganti married, divorce, honor, salary, non, thanks, save. Di tahun 1950-an kata ganti orang pertama dan kedua saya, aku, awak, kami, engkau, kamu, anda—demi sopan santun—sering diganti dengan sebutan ik-ike, we (Belanda) je-u, you (Belanda-Inggris). Siapa mengganti-ganti sebutan itu? Kalangan menengah atas dan yang menganggap diri mereka ’terpelajar’. Kita tahu sebutan itu di kalangan urban Jakarta kemudian berubah menjadi gue, lu-elu (China). Anehnya, sebutan kata ganti orang ketiga ia, dia, mereka, tak pernah diubah. Apakah orang ketiga di Indonesia dianggap tidak penting, atau bahkan tak bisa diganggu gugat? Aneh. Istilah hitungan angka (baca, duit) juga sering terdengar lebih akrab dalam bahasa China seperti, seceng, goceng, cepek, cenggo, jigo, dan istilah populer di tahun 1970-an, priiit jigo! Tentu saja istilah prit jigo kini tak lagi populer, karena go-nya tak lagi ji, tapi sudah berlipat ganda ribuan kali. Bahasa Arab bukan lagi persoalan sehari-hari untuk istilah-istilah alhamdulillah, salammualaikum, astaga, khitan, nikah, mutakhir dan seterusnya.
Apakah dari sudut bahasa, gejala yang sudah lama menjadi tanda-tanda budaya mitch-match (artinya campur aduk) Indonesia ini bagian dari deru globalisasi semu yang banyak di-blow-up (digembar-gemborkan) media—atau sekadar keterpecundangan patologis pengaruh westernisasi, chinaisasi, arabisasi, jawaisasi yang sering dirasa lebih unggul oleh kalangan tertentu? Tak apa, di bidang politik, sosial, ekonomi, agama dan lain-lain–nyatanya semangat budaya amburadulisme mitch-match ini toh tak kalah seru. Makanya, kakek saya yang hanya fasih berbahasa Jawa bingung tak mengerti apa itu seru cucu-cucu kakek: wow ! Yang kakek tahu adalah, wah. Sambil terheran-heran kakek bilang: Lho, lha wong wah kok wow to? Inikah tanda-tanda kecil budaya unggul, seperti dianjurkan pak presiden dalam konteks kepribadian Indonesia? Walah, wah aja diganti wow. Wis ...!
No comments:
Post a Comment